Di sebuah desa yang dikelilingi hamparan sawah, hiduplah seorang anak bernama Raka. Usianya sembilan tahun, kulitnya kecokelatan karena sering bermain di luar rumah. Setiap sore sepulang sekolah, ia punya kebiasaan duduk di tepi pematang sawah sambil memandangi langit yang perlahan berubah warna jingga.
Raka senang bermain sendiri di alam. Kadang ia memetik bunga rumput, kadang ia mengukir batang ilalang dengan ranting kering, atau sekadar mendengarkan suara jangkrik dan gemericik air dari saluran irigasi.
Suatu sore yang cerah, ketika Raka sedang memetik bunga rumput untuk dijadikan mahkota, ia mendengar suara krik… krik… dari dekat kakinya. Ia menoleh, dan melihat seekor belalang hijau besar melompat-lompat kecil di rerumputan.
“Hei, kamu mau kemana?” tanya Raka sambil mengulurkan tangan. Ajaibnya, belalang itu tidak melompat menjauh. Ia malah berhenti dan perlahan naik ke telapak tangan Raka.
“Kamu jinak sekali. Mulai hari ini, aku akan panggil kamu… Boli,” ucap Raka sambil tersenyum lebar. Belalang itu menggerakkan antenanya, seolah mengerti dan setuju dengan nama barunya.
Hari-hari berikutnya, Raka dan Boli menjadi teman tak terpisahkan. Setiap sore, Raka membawa Boli berjalan di pematang. Raka bercerita tentang gurunya yang suka bercanda, tentang temannya yang lucu, dan tentang mimpinya ingin menjadi penjelajah hutan.
Boli memang tidak bisa berbicara, tapi Raka merasa ia mengerti. Kadang Boli mengangguk pelan, kadang melompat riang ke bahunya, seakan memberi semangat. Bahkan, pernah sekali Boli melompat ke kepala Raka dan bertahan di sana seperti topi kecil yang hidup.
Pada suatu sore, awan gelap menutupi langit, angin bertiup kencang, lalu hujan deras mengguyur. Raka tetap nekat berlari ke pematang untuk menemui sahabat kecilnya. Namun, ia tak menemukan Boli di tempat biasa.
Raka mencari di rumput, di balik batu, bahkan di sela batang padi. “Boli! Kamu di mana?” teriaknya, tapi hanya suara hujan yang menjawab. Hatinya mulai diliputi rasa cemas.
Keesokan harinya, hujan sudah reda. Raka kembali mencari. Ia menelusuri pematang lebih jauh, hingga akhirnya melihat sesuatu yang bergerak di bawah daun pisang. Itu Boli, tubuhnya basah dan sayapnya lemah.
“Boli!” seru Raka sambil berjongkok. Ia dengan hati-hati mengangkat belalang kecil itu dan membawanya pulang. Di rumah, Raka membuatkan rumah kecil dari kotak sepatu berisi daun segar dan sedikit pasir di bawahnya.
Selama beberapa hari, Raka merawat Boli. Ia memberi daun muda untuk dimakan dan memastikan Boli kering dari air hujan. Perlahan, Boli kembali lincah. Setiap kali Raka mendekat, Boli akan melompat riang ke tangannya.
Namun, Raka tahu bahwa Boli bukanlah hewan peliharaan. Ia adalah makhluk bebas yang harus kembali ke alam. Hatinya berat, tapi ia sadar bahwa persahabatan sejati tak selalu berarti memiliki.
Pada sore yang cerah, Raka membawa Boli kembali ke pematang. “Terima kasih sudah jadi sahabatku, Boli. Aku harap kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti,” ucapnya lirih. Boli melompat tinggi, sayapnya mengkilap terkena sinar matahari, lalu menghilang di antara ilalang.
Sejak itu, setiap kali Raka duduk di pematang dan mendengar suara krik… krik… dari kejauhan, ia akan tersenyum. Ia tahu, entah di mana, Boli masih ada—menjaga persahabatan kecil yang takkan pernah pudar di hatinya.
Informasi : Sahabat Mading dimanapun berada, sahabat bisa mengirimkan karya ke situs ini. Karya boleh berupa artikel, puisi, cerpen, cerbung ataupun curhatan lainnya. Untuk saat ini, Mading belum menyediakan reward untuk yang mengirimkan tulisan. Enjoy!
Baca cerpen lainnya. Klik disini
Yuk terbitin buku cerpenmu bersama kami. Klik disini