Malam itu, langit menggantungkan bintang-bintang seperti lampu kecil di pesta rahasia. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah yang baru saja disentuh hujan sore. Raka berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumahnya dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.
Ia baru saja bertemu dengan Dara, teman kuliahnya yang akhir-akhir ini kerap muncul di kepalanya. Percakapan singkat di kantin kampus ternyata meninggalkan jejak panjang di dadanya. Seolah setiap kata Dara berubah jadi benih yang langsung tumbuh subur menjadi bunga-bunga rahasia.
Raka tidak pernah mengira dirinya bisa seserius ini menatap sepasang mata. Ada sesuatu pada tatapan Dara, seperti kaca bening yang memantulkan ketulusan. Sesuatu yang membuatnya ingin menatap lebih lama, meski sadar ia akan tenggelam semakin dalam.
Di kamarnya, Raka meletakkan buku kuliah begitu saja di meja. Ia berbaring sambil menatap langit-langit. Pikirannya penuh dengan senyum Dara, tawa kecilnya, bahkan caranya menggerakkan tangan saat bercerita. Semua terlihat begitu hidup di benaknya.
Kehadiran Dara seperti lagu yang terus diputar tanpa henti. Ia tidak pernah bosan mendengarnya. Setiap bait, setiap nada, seakan menambah denyut di dadanya. Rasanya aneh sekaligus manis, membuat malam terasa lebih pendek.
Besoknya, Raka sengaja berangkat lebih pagi ke kampus. Ia berharap bisa bertemu Dara di gerbang. Entah mengapa, ada dorongan aneh yang membuat langkahnya terasa ringan, seolah energi dalam dirinya berlipat ganda hanya karena sebuah kemungkinan sederhana: melihatnya lagi.
Ketika Dara benar-benar muncul di kejauhan, membawa buku di pelukannya, Raka merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Ia mencoba bersikap biasa, menahan senyum agar tidak tampak terlalu jelas. Namun matanya, tanpa ia minta, sudah lebih dulu mencari-cari Dara.
Mereka sempat berjalan bersama menuju ruang kuliah. Dara bercerita tentang film yang ia tonton semalam, sementara Raka hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Setiap kalimat Dara seperti percikan air yang menyegarkan hatinya.
Sejak hari itu, Raka merasa waktunya terbagi dua. Ada saat ketika ia bersama Dara, dan ada saat ketika ia menunggu untuk bisa bertemu lagi. Kedua waktu itu sama-sama berharga, karena yang satu memberi kebahagiaan nyata, dan yang satu menumbuhkan kerinduan.
Namun, semakin ia larut dalam rasa itu, semakin ia takut. Takut kalau perasaannya hanya bertepuk sebelah tangan. Takut kalau Dara hanya menganggapnya teman biasa. Raka sering memutar ulang percakapan mereka, mencari tanda-tanda kecil yang bisa menjawab rasa ragu itu.
Malam-malamnya berubah menjadi medan perang antara harapan dan cemas. Kadang ia tersenyum sendiri saat mengingat bagaimana Dara menatapnya. Kadang ia mendesah kecewa karena merasa semua itu mungkin hanya ilusi.
Dalam kebimbangannya, Raka mencoba menulis. Ia menuliskan semua perasaannya di buku catatan. Kata-kata mengalir tanpa bisa dihentikan, seperti sungai yang meluap setelah hujan deras. Di situ ia bebas mengaku: bahwa dirinya sedang jatuh cinta.
Hari-hari berikutnya, rasa itu semakin nyata. Raka menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Saat Dara memanggil namanya, saat mereka berbagi pena, bahkan saat Dara tertawa kecil karena hal sepele. Semua itu seperti hadiah rahasia dari semesta.
Suatu sore, mereka berdua duduk di taman kampus. Matahari mulai condong, cahayanya memantul di rambut Dara. Raka ingin sekali berkata jujur, tapi lidahnya kelu. Ia hanya mampu tersenyum, sementara di dalam dadanya ada perasaan yang berteriak.
Dara bercerita tentang mimpinya setelah lulus nanti. Raka mendengarkan, sesekali mengangguk. Ia menyimpan dalam hati, bahwa apapun yang akan terjadi di masa depan, ia ingin ada di samping Dara.
Senyum Dara saat itu begitu hangat. Raka menatapnya lama-lama, hingga Dara menoleh balik dan mereka saling bertatapan. Ada jeda singkat, cukup untuk membuat jantung Raka meloncat-loncat.
Sejak tatapan itu, perasaan Raka semakin tak terbendung. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Ia tidak ingin selamanya terjebak dalam keraguan. Meski takut ditolak, ia tahu perasaannya terlalu besar untuk terus disimpan.
Malam itu, ia menulis pesan singkat di ponselnya. Berkali-kali dihapus, ditulis ulang, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengirim. Pesannya sederhana: ia ingin bertemu besok, hanya berdua, bukan sekadar di kampus.
Keesokan harinya, mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat kampus. Raka duduk berhadapan dengan Dara, tangannya sedikit gemetar. Kopi di depannya tidak disentuh, karena yang membuatnya benar-benar berdebar bukanlah kafein.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu akhirnya bicara. Katanya, ia merasa nyaman bersama Dara. Katanya, Dara selalu hadir dalam pikirannya. Dan dengan suara yang nyaris bergetar, ia mengaku bahwa ia jatuh cinta.
Dara terdiam sejenak. Raka merasa dunia berhenti berputar. Detik itu begitu panjang, seolah seluruh semesta menunggu satu jawaban.
Kemudian, Dara tersenyum. Senyum itu membuat Raka hampir tak bisa bernapas. Dara berkata pelan bahwa ia juga merasakan hal yang sama. Bahwa pertemuan mereka bukan hanya kebetulan, melainkan sesuatu yang ia syukuri.
Raka menunduk, menutup wajahnya dengan tangan, lalu tertawa kecil karena lega. Dunia seakan berubah warna, lebih cerah, lebih indah. Perasaan yang selama ini ia simpan ternyata menemukan rumah.
Mereka menghabiskan sore itu dengan obrolan yang berbeda. Tidak ada lagi jarak yang menyamarkan rasa. Yang ada hanya dua hati yang sama-sama kasmaran, saling menemukan dalam kesederhanaan.
Dan sejak hari itu, Raka tahu: jatuh cinta bukan sekadar debar, melainkan keberanian untuk jujur.
Informasi : Sahabat Mading dimanapun berada, sahabat bisa mengirimkan karya ke situs ini. Karya boleh berupa artikel, puisi, cerpen, cerbung ataupun curhatan lainnya. Untuk saat ini, Mading belum menyediakan reward untuk yang mengirimkan tulisan. Enjoy!
Baca cerpen lainnya. KlikĀ disini
Yuk terbitin buku cerpenmu bersama kami. KlikĀ disini